Makalah Metodologi Studi Islam : Pendekatan dalam Metodologi islam

 METODOLOGI STUDY ISLAM
Pendekatan-pendekatan dalam metodologi Islam

Di
S
U
S
U
N
         Oleh:
Marzatil Husna
Lilis Satria Ningsih
Putra Aris Munandar
Ahmad Hilman


                   UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
TAHUN AJARAN 2014/2015

  
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................
DAFTAR ISI................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang........................................................
B.   Rumusan Masalah...................................................
C.   Tujuan.....................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.   Pendekatan Teologis Normatif................................
B.   Pendekatan Antropologis........................................
C.   Pendekatan Sosiologis.............................................
D.   Pendekatan Filosofis...............................................
E.    Pendekatan Historis................................................
F.    Pendekatan Kebudayaan.........................................
G.   Pendekatan psikologi..............................................
BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan.............................................................
B.   Saran.......................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................


BAB I

A.    Latar Belakang

Pendekatan dalam studi islam terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang di hadapi umat manusia.Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang ke shalehan atau berhenti sekadar di sampaikan dalam khutbah,melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah .

Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat di jawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan lain,yang secara operasional konseptual,dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.

B.     Rumusan Masalah

1.      Pendekatan teologis normative
2.      Pendekatan antropologis
3.      Pendekatan sosiologis
4.      Pendekatan filosofis
5.      Pendekatan historis
6.      Pendekatan kebudayaan
7.      Pendekatan psikologi


C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui berbagai pendekatan dalam studi islam
2.      Untuk menjelaskan pendekatan sosial humaniora dalam studi islam
3.      Untuk menjelaskan pendekatan normative dalam studi islam
4.      Untuk menerapkan beberapa pendekatan dalam studi islam

BAB II
                   PEMBAHASAN
A.PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM
      Pendekatan yang di maksud dalam studi agama adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu.terdapat sejumlah pendekatan dalam penelitian agama,antara lain:
·         Pendekatan teologis normatif
·         Pendekatan antropologis
·         Pendekatan sosiologis
·         Pendekatan filosofis
·         Pendekatan historis,
·         Pendekatan kebudayaan, dan
·         Pendekatan psikologi.

a)      Pendekatan Teologis Normatif
Dapat di artikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan di anggap sebagai yang paling benar di bandingkan dengan yang lainnya.Dalam islam sendiri,sejarah tradisional ,dapat di jumpai teologi mu’tazilah,teologi asy’ariyah,dan maturidiyah.Dan sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama khawarij dan murji’ah.
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol simbol keagamaan yang masing masing bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya yang paling benar sedangkan yang lainnya salah.
Pendekatan teologi semata mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.Terlebih lebih lagi kenyataan demikian harus di tambahkan bahwa doktrin teologi,pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri,terlepas dari jaringan istitusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya .Saat ini muncul yang disebut dengan istilah teologi masa kritis,yaitu suatu usaha manusia yang memahami penghayatan imannya atau penghayatan agamanya,suatu penafsiran atas sumber sumber aslinya  dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini,yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub:teks dan situasi ;masa lampau dan masa kini.
Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya.sikap kritis ini di tujukan pertama –tama pada agamanya sendiri,berarti antara lain mengungkapkan berbagai kecenderungan dalam institusi agama yang menghambat panggilannya ;menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.[1]
Dengan demikian,ilmu-ilmu keislaman yang kritis hanya akan dapat di bangun secara sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara sirkuler,dimana masing-masing dimensi dapat berinteraksi,berinterkomunikasi satu dengan yang lainnya.[2]
Pendekatan teologi dalam memahami agama cenderung bersifat  tertutup,tidak ada dialog,parsial saling menyalahkan,saling mengkafirkan,yang pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan ummat,tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial .Tanpa adanya pendekatan teologis,keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembangannya, berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan katakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Tradisi studi keagamaan yang banyak kita saksikan selama ini hanya lebih dominal adalah orang cenderung membatasi pada pendalaman terhadap agama yang di peluknya tanpa melakukan komparasi kritis dan apresiatif terhadap agama orang lain.Mungkin saja hal ini di sebabkan oleh terbatasnya waktu dan fasilitas yang di perlukan,sebab lain karena studi agama di luar yang di peluknya di nilai kurang bermamfaat atau bahkan bisa merusak keyakinan yang telah di bangun dan di peluknya bertahun-tahun yang di warisi dari orang tua.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif,yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya,karena ajaran yang berasal dari tuhan sudah pasti benar,sehingga tidak perlu di pertanyakan lebih dahulu melainkan di mulai dari keyakinan yang selanjutnya di perkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan teologis menunjukkan adanya kekurangan antara lain bersifat eklusif,dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain,dan sebagainya.Kekurangan ini dapat di atasi dengan cara melengkapinya dengan pendekatan sosiologis.Sedangkan kelebihannya,melalui pendekatan ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama yakni berpegang teguh kepada agama yang di yakininya sebagai yang benar,tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya.
Pendek      atan teologis ini erat kaitan dengan pendekatan normatif,yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajaran nya yang pokok yang asli dari tuhan yang di dalam nya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.Dalam pendekatan ini agama di lihat sebagai suatu kebeneran mutlak dari tuhan,tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersikap ideal.
Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat ciri nya yang khas,untuk agama islam misalnya secara normatif pasti benar,menjunjung nilai-nilai luhur.Untuk bidang sosial,agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan,kebersamaan,kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa,persamaan derajat dan sebagainya.untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan,kebersamaan,kejujuran,dan saling menguntungkan.Untuk bidang ilmu pengetahuan,agama tampil mendorong pemeluk nya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggitingginya,menguasai keterampilan,keahlian dan sebagainya.dan untuk bidang kesehatan,lingkungan hidup,kebudayaan,politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal yang di bangun berdasar kan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.[3]
Dalam pendekatan ini telah menempatkan “islam normatif”dalam kerangka kerjanya sebagai “hard core”yang harus di lindungi dengan sifat-sifatnya yang mendorong pada penemuan-penemuan dan penyelidikan-penyelidikan baru(positive heuristic).[4]
b)      Pendekatan Antropologis
Antropologi berasal dari bahasa yunani “anthropos” yang artinya manusia atau orang, dan “logos” yang berarti wacana.
Parsudi Suparlan,dalam Roland Roberston (1988:v)dalam salah satu tulisannya mengemukakan bahwa “agama secara mendasar dan umum dapat di definisikan sebagai seperangkat aturan dan aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib,khususnya dengan Tuhannya,mengatur hubungan manusia dengan lingkungan.[5]
pendekatan antropologis  dalam memahami agama dapat di artikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.Melalui pendekatan ini agama tampa akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang di hadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.Antropologis lebih mengutamakan pengamatan langsung,bahkan sifatnya partisipatif.Antropologi agama dapat di temukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.
Melalui pendekatan antropologis,kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Melalui pendekatan  ini kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme perorganisasian ,juga tidak kalah menarik untuk di ketahui oleh para peneliti sosial keagamaan.melalui pendekatan antropologis fenomenologis kita juga dapat melihat hubungan antara agama dan negara.
Selanjutnya,melalui pendekatan ini juga dapat di temukan keterkaitan agama dengan psikoterapi.melalui pendekatan ini terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia,dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.Pendekatan ini diperlukan adanya,sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan agama hanya bisa di jelaskan dengan tuntas melalui pendekatan ini.
Dengan demikian,pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama,karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat di jelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[6]

c.       Pendekatan Sosiologis
Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari  hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidup nya itu.Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama,cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta kepercayaannya,keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur,lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.Metode ini dapat di gunakan sebagai slah satu pendekatan dalam memahami agama,karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat di pahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi.Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit di jelaskan dan sulit pula di pahami maksudnya,disinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama islam.pentingnya pendekatan ini dalam memahami agama sebagaimana disebutkan di atas,dapat di pahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial.
Ada 5 alasan yang mengajukan islam terhadap masalah sosial yaitu :
1.      Dalam alquran atau kitab-kitab hadist,proporsi terbesar kedua sumber hukum islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
2.      Bahwa di tekankannya masalah muamalah (sosial) dalam islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting,maka ibadah boleh di perpendek atau di tangguhkan,melainkan di kerjakan sebagaimana mestinya.
3.      Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan di beri ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan contohnya shalat berjamaah itu lebih besar pahalanya daripada shalat sendiri.
4.      Dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal,karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.      Dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
Melalui pendekatan ini agama akan dapat di pahami dengan mudah,karena agam itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.[7]
c)      Pendekatan filosofis

                   Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik obyek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriah.[8]
Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengatehuan dan penyelidikandengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formanya. Sebagai contoh, kita menjumpai merek pulpen dengan kualitas dan harganya yang berlain-lainan namun inti semua pulpen itu adalah sebagai alat tulis. Ketika disebut alat tulis, maka tercukuplah semua nama dan jenis pulpen. Contoh lain, kita jumpai berbagai bentuk rumah dengan kualitas yang berbeda, tetapi semua rumah intinya adalah sebagai tempat tinggal. Kegiatan berpikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam. Louis O Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlan melamun, juga bukan berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sitematik, dan universal. Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai ke batas dimana akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai ke akar-akarnya hingga tidak ada lagi yang tersisa. Sistematik maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu dan universal, maksudnya tidak terbatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruhnya.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Kita misalnya membaca buku berjudul Hikmah Al-Tasri’ wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Al-Jurjawi. Dalam buku tersebut penulis berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat  di balik ajaran-ajaran agama islam. Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan shalat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula ibadah haji yang dilaksankan di kota mekkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandang luas, merasa bersaudara dengan sesama muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang dikerjakan mengandung makna bahwa  hidup harus penuh dengan dinamika yang tak kenal lelah, namun semuanya itu harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata. Sa’i yaitu lari-lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus mencoba, dimulai dari bukit shafa yang artinya bersih dan berakhir di bukit marwah yang artinya berkembang. Dengan demikian hidup ini harus diisi dengan perjuangan  yang diidasarkan pada tujuan dan niat yang bersih sehingga dapat memperoleh keberkahan. Sementara itu wukuf di Arafah maksudnya adalah saling mengenal, yaitu dapat mengenal dirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya, dan mengenal sesama saudaranya dari berbagai belahan dunia. Demikian pula melontar jamarat dimaksudkan agar seseorang membuang sifat-sifat negative yang ada dalam dirinya untuk dengan sifat-sifat yang positif dan mengenakan pakaian serba putih maksudnya adalah agar seseorang mengutamakan kesederhanaan, kesahajaan, dan serba bersih jiwanya sehingga tidak terganggu hubungannya dengan Tuhan.
Demikian pula kita membaca sejarah kehidupan para nabi terdahulu, maksudnya bukan sekedar menjadi tontonan atau sekedar mengenangnya, tetapi bersamaan dengan itu diperlukan kemampuan menangkap makna filosofis yang terkandung dibelakang peristiwa tersebut.
Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan cara demikian ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.[9]
Karena demikian pentingnya pendekatan filosofis ini, maka kita menjumpai bahwa filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lainnya selain agama. Kita misalnya membaca adanya filsafat hukum islam,filsafat sejarah, filsafat kebudayaan, ekonomi, dan lain sebagainya.
                  Melalui pendekatan ini, seseorang tidak akan tterjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistic, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun islam yang kelima, dan berhenti sampai disitu. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang tetkandung di dalamnya.     
 Dengan demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Bentuk atau kulit itulah yang disebut aspek eksoterik dan agama-agama dan manifestasinya dalam dunia ini menjadi religious (dengan r kecil ), sedangkan kebenaran yang bersifat absolute, universal, dan metahistoris adalah Religion ( dengan R besar ). Pada titik Religion inilah titik persamaan yang sungguh-sungguh akan dicapai.
                   Tampaknya pandangan filsafat yang bercorak perenialis ini secara metodologis memberikan harapan segar terhadap dialog antara umat beragama, sebab melalui metode ini diharapkan tidak hanya sesama umat beragama menemukan transcendent unity of religion, melainkan dapat mendiskusikannya secara lebih mendalam, sehingga terbukalah kebenaran yang betul-betul benar, dan tersingkirlah yang betul-betul sesat, meskipun tetap dalam lingkup langit kerelatifan. Kedua kebenaran dan kesesatan mungkin saja terjadi pada sikap kita atau suatu kelompok tertentu yang seakan berada di posisi paling atas sehingga yang lain diklaim sebagai berada dibawah.
Pendekatan filosofis yang bercorak perenialis ini, walaupun secara teoritis  memberikan harapan dan kesejukan, namun belum secara luas dipahami da diterima kecuali kelompok kecil saja. Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan di atas. Namun, pendekatan seperti ini masih belumditerima secara merata terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketetapan melaksanakan aturan-aturan formalistic.
d)     Pendekatan historis
Salah satu upaya memahami agama dengan menumbuhkan perenungan untuk memperoleh hikmah dengan mempelajari sejarah nilai-nilai islam yang berisikan kisah dan perumpamaan.
Sejarah atau historis adalah ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat  adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejahteraan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam  situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, pada dasarnya Al quran itu terbagi atas dua bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama tersebut yang berisi konsep-konsep, banyak kali istilah yang terdapat dalam Al-quran yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau disingkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al-quran diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religious yang ingin diperkenalkannya. Yang jelaas, istilah-istilah itu kemudian diinteragasikan ke dalam pandangan dunia Al-quran, dan dengan demikian menjadi konsep yang otentik.
 abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah , tentang malaikat, akhirat, amar ma’ruf dan munkar, dan sebagainya  adalah konsep-konsep yang abstrak.
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep-konsep Alquan bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai islam, maka pada bagian kedua yang berisi dan perumpamaan untuk memperoleh hikmah.
Melalui pendekatan inilah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami  Alquran secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya Al-quran atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Al-quran yang selanjutnya disebut sebagai ilmu asbab al- nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya Al-quran . dengan ilmu tersebut seseorang akan akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan dijukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya
e)      Pendekatan kebudayaan
Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan bathin manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan batin akal dan sebagainya untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Jadi, pengertian pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan atau kaca mata dalam melihat, memperlakukan, dan menelitinya . permasalahan kemudian adalah pengertian kebudayaan yang digunakan sebagai sudut pandang atau kacamata dalam melihat gejala yang di uji.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi bathin yang dimilikinya . di adat istiadat, dan sebagainya. Kebudayaan tampil sebagai pranata yang secra terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.
Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmu social, konsep kebudayaan dari koentjaraningrat amatlah popular. Dalam konsepnya, kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yang mencakup keseluruhan dari:
·         Kelakuan
·         Gagasan
·         Hasil kelakuan
Konsep ini tak bisa dipakai sebagai acuan bagi pendekatan kebudayaan untuk kajian agama. Karena agama bukanlah gagasan , bukan juga kelakuan, ataupun hasil kelakuan. Sebaliknya, kebudayaan dalam pengertian koentjaningrat adalah wujud, dan wujud inilah yang dijadikan sasaran kajian atau penelitian antropologi. Kajian atau penelitian wujud kebudayaan ini, dalam konsep unsure-unsur budaya universal yang menghasilkan  taksonomi kebudayaan.[10]

Pendekatan berdasarkan pemikiran adalah bahwa setiap kebudayaan adalah unik atau tidak sama dengan kebudayaan yang lain, bahwa setiap masyarakat mempunyai kebudayaan masing-masing, dan bahwa setiap agama untuk dapat berpijak dibumi atau hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat haruslah menjadi pedoman yang diyakini kebenarannya bagi kehidupan suatu warga masyarakat.

Jadi, suatu agama untuk dapat hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat haruslah menjadi kebudayaan bagi masyarakat tersebut. Karena setiap masyarakat itu mempunyai kedudukan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang harus dipenuhi guna kelangsungan hidupnya yang mencakup  kebutuhan biologi, kebutuhan social, dan kebutuhan adab yang interagatif.

Adapun agama sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat hanya mencakup serta terpusat pada penyajian untuk pemenuhan kebutuhan  adab interagatif. Karena itu, dalam hubungan antara agama dan kebudayaan dari masyarakat setempat. Agama berfungsi sebagai pedoman moral dan etika yang terwujud sebagai nilai-nilai budaya yang mengintegrasikan dan mejiwai setiap upaya pemenuhan kebutuhan biologi dan social dari warga masyarakat tersebut.

Dengan demikian, apabila agama dilihat dan diperlukan sebagai kebudayaan, yaitu sebagai nilai-nilai budaya dari masyarakat yang dikaji, agama diperlakukan sebagai sebuah pedoman yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan, serta pedoman bagi kehidupan tersebut dilihat sebagai sesuatu yang sacral dengan sanksi-sanksi ghaib sesuai dengan aturan dan peraturan keagamaan yang diyakini. Dalam pendekatan ini, agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat, yang pengetahuan dan keyakinan tersebut menjadi patokan-patokan  kebutuhan manusia, sehingga tindakan-tindakan pemenuhan kebutuhan manusia itu dapat menjadi beradab, penuh dengan cirri-ciri kemanusiaan yang dibedakan dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologi dan social hewan.

Pada waktu agama dilihat dan diperlukan sebagai kebudayaan maka yang terlihat adalah agama sebagai keyakinan yang ada dan hidup dalam masyarakat manusia, dan bukannya agama yang terwujud sebagai petunjuk-petunjuk dan larangan-larangan serta perintah-perintah tuhan yang ada dalam Alquran dan hadist nabi. Jika agama islam tertuang sebagai teks suci dalam Alquran dan hadist itu bersifat universal, keyakinan keagamaan yang hidup dalam masyarakat itu bersifat lokal, yaitu lokal sesuai dengan kondisi masyarakat, sejarah, lingkungan hidup dan kebudayaannya.

Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut, unsur agama ikut berintegarasi. Pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta misalnya, kita jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala Arab. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan baju ala China. Di situ terlihat produk budaya yang berbeda di pengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.[11]

Mengapa bisa demikian keadaannya ?
Untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan-keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama ( islam ) harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam upaya meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut, disamping harus juga melakukan berbagai penyesuaian nilai-nilai hakiki yang ada dalam keyakinan agama tersebut dengan nilai-nilai kebudayaan dari masyarakat, sehingga agama tersebut dapat diterima dan diyakini kebenarannya. Dalam keadaan demikian itulah agama yang diterima oleh sebuah masyarakat menjadi bersifat lokal.
                  Dalam beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para sarjana Indonesia mengenai penyebaran islam di jawa oleh para Walisongo, antara lain ditunjukkan bagaimana upaya dakwah tersebut dilakukan dengan menggunakan wayang kulit (tradisi budaya jawa ) dan diciptakan lakon dengan isu pokok jamus kalimosodo (syahadat dalam bahasa jawa ). Begitu juga berbagai dongeng suci atau mitologi disebaran islam di Jawa, pengislaman kerajaan Pajajaran, atau kegiatan para walisongo dalam mengislamkan orang Jawa yang tidak menggunakan pedang, tetapi menggunakan kesaktian atau kemukjizatan tuhan yang dipunyai oleh para wali atau da’i penyebaran agama islam, sebagai orang yang terpilih adalah antara lain, contoh-contoh mengenai hubungan antara agama dan kebudayaan setempat.
      Pada waktu Weber (1976) melakukan kajian etika Protestan tersebut, dia melihat teologi Kristen protestan calvin, sesuai dengan apa yang ada didalam pengetahuan dan keyakinan penganut Kristen protestab calvin. Hal sama juga dilakukan oleh Clifford Geertz (1963) dalam kajiannya mengenai agama  islam orang jawa, yang menghasilkan pergolongan abangan, satri dan priyayi, dan kajiannya mengenai islam di Maroko dan Jawa ( 1972 ).
                  Pendekatan ini mencoba mengungkapkan kebudayaan secara lebih lengkap dengan cara “ merampingkan “ konsep kebudayaan itu. Secara garis besar dalam pandangan ini, menurut Noerhadi Magestari mengatakan bahwa, dalam sebuah kebudayaan terdapat empat system, yaitu :
·         Kebudayaan sebagai system adaptasi
·         Kebudayaan sebagai system kognitif
·         Kebudayaan sebagai structural
·         Kebudayaan sebagai system symbol

f)       Pendekatan Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa, pendekatan psikologi adalah paradigm cara pandang memahami agama dengan mempelajari jiwa seseorang dengan cara melihat gejala perilaku yang dapat di amati. Dalam islam banyak sekali penggambaran bathin, seperti iman, taqwa kepada Allah. Perilaku  seseorang dapat dilihat dari apa yang ia yakini.
Dengan psikologi dapat dilihat tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan diamalkan serta sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang.
Islam banyak mengajarkan pemeluknya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Misalnya, islam mengajarkan shalat lima waktu dilaksanakan dengan berjamaah. Islam menganjurkan infak, zakat, dan shadaqah, saling tolong menolong antar manusia dan saling menasihati antar sesama dalam kebaikan, serta masih banyak contoh lain.

Ajaran-ajaran islam seperti di atas dimaksudkan untuk membentuk umat yang beriman dan beramal shaleh atau membentuk manusia yang muttaqin dengan indikasi senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah ( amar ma’ruf nahi munkar ). Perilaku orang muttaqin tersebut terpantul dalam kehidupan sehari-hari sebagai konteks implementasi ajaran islam.
Berdasarkan hal diatas, pendekatan psikologis dapat diartikan sebagai pendekatan agama melalui perilaku yang tampak secara lahiriah karena di pengaruhi oleh keyakinan yang di anutnya. Misalnya, seseorang dapat merasakan dan mengetahui pengaruh psikologis dari shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya.
                                                                     BAB III
KESIMPULAN

Pendekatan dalam studi islam adalah cara pandang atau paragdima yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya di gunakan dalam penelitian agama.Hal demikian perlu  dilakukan karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat di rasakan oleh penganutnya.Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut,tidak mustahil agama menjadi sulit di pahami oleh masyarakat,tidak fungsional,dan akhirnya masyarakat mencari pemecah masalah kepada selain agama,dan hal lain tidak boleh terjadi.

A.    Kritik dan Saran

Dari pembahasan di atas,penulis menyadari bahwa makalah di atas masih belum sempurna.Oleh karena itu,penulis meminta kritik dan saran dari pembaca sekalian agar penulis bisa memperbaiki kesalahan.Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

                                        DAFTAR PUSTAKA
H.Abuddin Nata,Metodologi Studi Islam,Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998
M.Amin Abdullah,Islamic Studies,Jogjakarta:Pustaka Pelajar,2012
Tabrani,pengantar metodologi studi islam,B.Aceh:SCAD Independent,2014



















                 

  




[1] H.Abuddin Nata,metodologi studi islam,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,1998)hal.29
[2]M.Amin Abdullah,Islamic Studies,(Jogjakarta:Pustaka Pelajar,2012)hal:62
[3] H.Abuddin Nata,metodologi studi islam,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,1998)hal:33
[4]M.Amin Abdullah,Islamic Studies,(Jogjakarta:Pustaka Pelajar,2012)hal:63
[5] Tabrani,pengantar metodologi studi islam, (B.Aceh:SCAD Independent,2014)hal.45

[6] H.Abuddin Nata,metodologi studi islam,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,1998)hal:39
[7] H.Abuddin Nata,metodologi studi islam,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,1998)hal:39

[8] Tabrani,Pengantar,Metodologi Studi Islam,(B.Aceh:SCAD Independent,2014)hal:56
[9] H.Abuddin Nata,Metodologi Studi Islam ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998 )hal:45
[10] Tabrani,metodologi studi islam,(B.Aceh:SCAD Independent,2014),hal: 61
[11] Abuddin Nata,Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), hal:50.

Posting Komentar

0 Komentar